Matahari menyambut pagi dengan cahaya
hangatnya. Langit juga begitu cerah. Burung-burung bernyanyi seolah mengiringi
musik alam yang indah. Nuansa pagi ini menambah semangat Fiska menjalani hari
ini. Senyumnya begitu merekah berjalan keluar rumah menuju kampus. Jarak rumah
Fiska dengan kampus sebenarnya lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Namun, pagi ini dia memutuskan untuk berjalan kaki menikmati indahnya pagi. Perasaannya
begitu baik, diapun memakai baju warna biru, warna favoritnya yang katanya
warna yang menenangkan.
Hari ini perkuliahan Fiska berjalan
seperti biasa, presentasi, tidak ada kegiatan praktikum maupun pengerjaan
proyek. Kali ini giliran kelompok Hana untuk presentasi, sahabat Fiska sejak
dari menempuh S1. Fiska menempati duduk di barisan depan agar bisa fokus
mendengarkan presentasi sahabatnya. Tibalah kanza datang menempati barisan
tepat di belakang Fiska. Betapa senang sekaligus groginya Fiska duduk di dekat Kanza.
Tiba-tiba terdengar suara Kanza
memanggil Fiska,”Fiska, kalau bisa lain kali lengan bajunya diberi handsock
sepertinya lebih bagus.”
“Ha? Eh, em…oh iya thanks ya uda
ngingetin,” jawab Fiska dengan bingung.
“Lebih bagus lagi kalau pakai kaos kaki
sekalian.”
“Kaos kaki? Em… iya, makasih ya.”
Rasanya seperti disambar petir di pagi
hari. Nasehat yang singkat, padat, jelas dari Kanza sukses membuat suasana
ceria di hati Fiska menjadi linglung. “Kenapa Kanza tiba-tiba menasehatinya
dengan detail begitu sampai ke kaos kaki?” batin Fiska. Fiska yang masih bingung
hanya mengiyakan nasehat Kanza. Nampaknya duduk di barisan tidak membuat Fiska
fokus mendengarkan presentasi. Hana yang berada berhadapan dengan Fiska
memperhatikan gelagat sahabatnya itu. Sepulang kuliah Hana meminta Fiska ikut
naik sepeda motor berboncengan dengannya.
_________________________
“Fiska, gimana menurutmu presentasiku
tadi?” tanya Hana sembari membonceng Fiska ke rumahnya.
“Ha? Emmm, eh… hehehe, bagus kok Hana. Kamu
cukup percaya diri dan materi yang kamu sampaikan juga bagus.” jawab Fiska terbata-bata
karena dia tidak begitu memperhatikan Hana presentasi.
“Kamu kenapa tadi diam saja? Bukannya kamu
kepo dan tertarik mempelajari materiku tentang aplikasi bioinformatika?”
“Emm, cuma belum ngerti aja sih, Han. Maaf
ya.”
“Harusnya kan kalau belum mengerti kamu
bisa bertanya? Ini kamu malah diam melamun. Memangnya ada masalah apa?”
“Nggak ada masalah apa-apa kok, aman”
jawab Fiska dengan senyum yang seadanya.
Hana menyadari ada sesuatu yang
disembunyikan dari sahabatnya itu. Dia memutuskan baru akan menggali lebih jauh
sesampainya di rumah Fiska.
____________________
“Mau minum apa, Han?” tanya Fiska begitu
sampai rumah.
“Air putih saja, Fiska. Cuacanya lagi
panas, bisa bahaya kalau aku minum es.”
Fiska mengambilkan Hana minuman
sekaligus camilan di dapur, sedangkan Hana langsung dipersilahkan ke kamar
Fiska. Seperti biasanya dia langsun
g merebahkan badannya ke kasur menunggu
air yang dibawa Fiska.
“Ini, Hana, camilannya jangan dihabiskan
ya? Bagi-bagi.” kata Fiska memperingatkan Hana agar tidak menghabiskan
camilannya.
“Thanks, Fiska.”
Hana mulai mengambil posisi ternyaman
untuk mendengarkan sahabatnya bercerita.
“Fiska, tadi ada apa?” Hana membuka sesi
intern mereka sebagai sahabat.
“Maksudnya apa, Han?” jawab Fiska bingung.
“Jujur, setelah kamu ngobrol dengan
Kanza, raut wajahmu jadi berubah. Bahkan kamu tidak konsentrasi saat aku
presentasi.”
“Ah, masak sih, Han? Aman kok aman.” Fiska
tetap berusaha mengelak. Dia tidak ingin sahabatnya tau perasaannya yang tak
menentu sekarang. Namun, semakin berusaha ditutupi, semakin Hana ingin
menggali.
“Ayolah, Fiska! Kalian duduk berhadapan
denganku tadi. Semua terlihat amat jelas. Kalau memang kamu tidak mau bercerita
sekarang tidak apa sih. Asal nanti jangan hubungi aku pas lagi galau-galaunya doang
ya.”
Fiska merasa malu pada Hana. Perlahan dia
mulai membuka ceritanya dengan teguran nasehat yang diberikan Kanza hari ini.
“Gitu ceritanya, Han.”
“Lalu apa yang membuat raut wajahmu
berubah seketika saat ditegur? Kamu sedih? Bingung? Kenapa?
“Entah, aku sebenarnya senang
dinasehati. Itukan berarti tanda orang tersebut peduli denganku. Cuma aku
merasa ada rasa malu dengan nasehat Kanza tadi. Apalagi teguran itu menyangkut
hal yang seharusnya aku tutupi kan?”
“Iya sih, yak an wajar kalau dia
menegurmu karena memang katamu dia akan religious walaupun pembawaannya seperti
itu.”
“Iya, Han. Entah perasaanku berkecamuk,
Han. Senang iya, sedih dan malu juga iya.”
“Em,, kamu suka ya sama Kanza?”
“Eh, apaan sih, Han.” Fiska mengelak.
“Ah sudah lah, jujur coba. Nasehat yang
begitu saja bikin moodmu hari ini berubah, konsentrasimu buyar seketika.”
“Hmmm, iya mungkin, Han. Sejak kejadian presentasi
itu perhatianku jadi lebih tertuju padanya. Apalagi sejak kami dipasangkan
dalam proyek yang sama, kami lebih intens ngobrol, aku jadi lebih mengenal dia.
Semakin dia bercerita aku semakin kagum, Han. Pribadinya yang santai, santun,
berilmu dunia dan ilmu akhirat membuat pintu hatiku perlahan terbuka. Sebenarnya
aku tidak tau apa Kanza juga merasakan hal yang sama atau tidak. Ketika dia
menegurku tadi ada sisi dalam diriku yang mengatakan bahwa itu wujud kasih sayang
Kanza terhadapku. Namun, di sisi lain aku mencoba mengeraskan hatiku agar tidak
jatuh lagi. Aku takut ke-pede-an, Han. Jangan-jangan hal seperti ini wajar dia
lakukan ke perempuan lain juga.”
“Sepertinya tidak, Fiska. Ini hanya
tertuju padamu pula.”
“Ha? Bagaimana kamu bisa yakin, Han?”
“Karena tadi kan kamu lihat sendiri aku
juga mengenakan pakaian yang mirip denganmu. Baju yang tidak sepenuhnya menutup
bagian lengan sampai telapak tangan. Tapi dia tidak menegurku sama sekali.”
Fiska mulai sumringah. Sisi di mana dia
meyakini bahwa Kanza menyukainya mulai memiliki timbangan yang lebih berat. Fiska
dan Hana terlibat perbincangan tentang Kanza hingga sore hari. Dalam perbincangan
itu, hati Fiska begitu berbunga-bunga. Hana mendukungnya untuk melanjutkan rasa
itu kepada Kanza.
Bersambung……………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar