Sore itu, Tuhan mempertemukan aku dengan peristiwa presipitasi. Tuhan tau bahwa aku menantinya. Setelah sekian lama dilanda kering hingga terasa panas jiwa raga ini, Dia menghadirkan hujan intensitas yang luar biasa. Segera aku bergegas menyapanya, bersorak gembira.
“hai, hujan! Terimakasih sudah menyapaku, sampaikan
terimakasih pula pada penciptamu.” Sapaku.
Seolah hujan menjawab dengan rintik yang lebih lembut
membasahi seluruh tubuhku.
“hujan, apa kau tau yang ku alami selama kau tak ada? Aku
merasakan panas yang amat luar biasa. Apalagi ada sosok yang hadir diperjalanan
hidupku. Namun, dia hadir di saat yang tidak tepat membuatku harus rela
melepaskan perasaan ini” kataku mengawali cerita.
Ya, selama ini memang hujan jadi temanku bercerita. Bagiku
dia amat begitu pengertian mendengarkanku berkeluh kesah apapun. Dia membuat
air mataku terkamuflase. Tidak ada yang tau jika aku bersedih, dan tidak ada
yang tau jika aku begitu bahagia. Namun diperjumpaan ini, aku mengawalinya
dengan tangis kerinduan. Aku begitu merindukan hujan. Sesak rasanya dada ini
menyimpan semuanya sendiri.
Ketika aku akan memperkenalkan seseorang yang ada di
pikiranku pada hujan, tiba-tiba pandanganku tertuju pada satu sosok. Ah, jadi
aku tidak perlu menceritakan bagaimana sosoknya. Hujan dapat melihat sosok itu
langsung. Ternyata dia juga hadir menyapa hujan.
“hujan, itulah dia. Yang selama ini menghantui pikiranku.
Dari awal aku sudah tau tembok kami terlalu tinggi, tapi sapanya perhatiannya
selalu terngiang. Dia terlalu baik, hujan, aku tak bisa mengendalikan
perasaanku. Dia mengambil separuh hatiku. Padahal hatinya sudah penuh oleh
cinta yang lain”, ceritaku sambil berurai air mata.
Aku kembali melanjutkan cerita dengan bersimpuh,”hujan andai
engkau tau ketika kami bertatap, kami seolah mempunyai rasa yang sama, tapi
seketika kami juga harus menepisnya. Pasti engkau akan tersenyum dan meledek
aku ketika aku salah tingkah karena tiba-tiba ketauan saat menatapnya.”
“hujan, rasa ini begitu membahagiakan, membuatku semangat
menjalani apa yang aku jalani sekarang. Tapi semakin lama aku berada di jalan
ini aku juga tersiksa dengan perasaan yang tak kunjung mampu ku akhiri. Apakah
aku harus tetap berdiri melalui jalan ini? Ataukah aku harus menuju jalan lain
agar tak tampak sehelai rambutpun olehnya?”
Lanjutkan
BalasHapus