Rabu, 24 Mei 2023

Pengagum Audience (1)


Tahun 2011 adalah tahun di mana Fiska memasuki babak baru dalam dunia pendidikannya. Setelah lulus Sarjana (S1) tahun 2009 kemudian bekerja di salah satu sekolah negeri di Malang, dia menerima nasehat dari ibunya agar melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi lagi, magister. Mau tidak mau dia mengambil jurusan kelanjutan sarjananya dulu agar linier.

Setelah menyepelekan waktu ketika kuliah sarjana, kini dia bertekat untuk memperbaiki kualitas belajarnya, kualitas IP-nya, dan kemampuan lain yang selayaknya dimiliki mahasiswa seusianya.

Dia merasakan begitu lancarnya proses pendaftaran dan tes-tes yang dijalani. Dia selalu yakin dengan restu ibu yang tanpa bantahan, maka jalannya akan lancar. Terbukti saat pengumuman alhamdulillah dia keterima di salah satu universitas negeri di Malang.

Masa orientasi selama pra pasca dia nikmati, berkenalan dan berinteraksi dengan teman-teman baru. Berbeda dengan jaman dia kuliah sarjana dulu, di program pascasarjana ini dia memiliki teman dengan jenjang usia yang bervariasi. Ada yang masih seusianya, ada yang lebih muda, ada yang sudah berkeluarga, ada yang masih single.

Selama kuliah, Fiska sambil mengenal teman-teman barunya. Mereka saling bekerja sama untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang rata-rata dilakukan berkelompok. Berbeda mata kuliah, berbeda pula kelompoknya. Setiap kelompok memberikan pengalaman tersendiri bagi Fiska. Ada anggota kelompoknya yang rajin, ada yang hanya titip nama, ada yang ahli di penulisan makalah saja, ada pula yang ahli saat presentasi. Dia berusaha memaklumi dan mengimbangi berbagai karakter teman-temannya agar tidak menimbulkan konflik.

--------------------

--------------------

Ternyata sehebat apapun Fiska berusaha menjaga harmonisasi dirinya dan teman-temannya, dia lupa bahwa dalam diskusi kelas tidak semulus yang diharapkannya. Saat itu materi yang dibahas merupakan materi yang kontroversial, EVOLUSI.

Ketika dia mencoba menjawab pertanyaan dari temannya sebagai audience ternyata di situlah menimbulkan sanggahan dari audience lain.

“Mohon maaf, saya kurang setuju kalau apa yang kita pelajari tidak dihubungkan dengan agama. Segala aktivitas kita bahkan materi pembelajaran kita tidak akan bisa lepas dari agama.” Kemudian audience tersebut mulai membuka handphonenya, membaca arti dari Al- Qur’an surah Al-Mukminun ayat 12-14:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah , lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik”.

Dengan nada tegas tapi tidak melupakan sopan santun dalam berdiskusi, audience tersebut masih melanjutkan argumennya, “Dari firman Allah yang saya sebutkan tadi, menggambarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari tanah. Hal tersebut menegaskan bahwa ketika diciptakan manusia maka seterusnya tetap menjadi manusia (tidak dapat berubah bentuk). Dari segi biologi molekuler, susunan kombinasi gen tercatat dengan sangat detail sehingga pandangan terhadap suatu teori evolusi pada akhirnya akan tetap mengarah kepada ketetapan hukum alam dari Allah yang bersifat mutlak”.

Fiska tertegun mendengar jawaban audience itu. Rasanya sudah tidak ada lagi yang ingin Fiska ucapkan walaupun hatinya menggerutu. Mungkin teman kelompok Fiska yang akhirnya mewakili perasaannya.

“Terimakasih atas sanggahannya. Kelompok kami tidak bermaksud mengesampingkan agama. Maksud kami, beberapa pendapat ahli dahulu tentunya akan tidak bisa sinkron dengan agama sehingga diharapkan teman memaklumi hal ini.”

“Hmmm, syukurlah….” gumam Fiska.

----------

----------

Sejak presentasi itu Fiska jadi lebih memperhatikan lagi apa yang dia bicarakan. Dia seperti menjadi insecure lagi dengan dirinya. Dari SMP, Fiska merasa insecure dengan dirinya. Dia selalu membandingkan dirinya dengan teman yang lebih unggul seperti orang tuanya yang selalu membandingkan Fiska dengan kakaknya, Aprilia. Aprilia yang berjarak satu tahun dengan Fiska memiliki segudang prestasi. Mulai dari lomba pidato hingga lomba debat. Fiska yang lebih suka “dibelakang layar” menjadi insecure melihat kakaknya. Dirinya yang bercita-cita menjadi seorang motivator perlahan mulai mengkerdilkan cita-citanya sendiri. Fiska mengubur impiannya dengan hanya membaca buku-buku motivasi, novel, maupun buku parenting kemudian dituangkannya ke dalam tulisan.

Namun, ketika Fiska SMA, dia bertemu Bu Fifi, guru biologi yang akhirnya menjadi guru favoritnya. Bu Fifi mampu membuka wawasan dan meluluhkan hati Fiska yang sempat disetting keras olehnya supaya tidak mudah rapuh.

“Setiap anak punya passionnya masing-masing, Fiska. Kakakmu mungkin memang passionnya di area publik sehingga dia memaksimalkan itu. Prestasi kakakmu yang berhubungan dengan publik membuat dia lebih terlihat di mata orang tuamu, sedangkan kamu yang passionnya di dunia buku dan tulisan menjadi tidak terlihat. Kamu yang bercita-cita ingin menjadi motivator tetapi cenderung introvert membuat sekitarmu termasuk orang tuamu pesimis dengan hal itu. Kan motivator harus ahli berbicara dan tampil di depan umum?” kata Bu Fifi menanggapi cerita Fiska yang saat itu konsentrasi dan prestasinya menurun.

“Iya bu, tapi seharusnya orang tua mensupport anaknya ada atau tanpa prestasi. Orang tua saya harusnya menyadari potensi anak yang berbeda-beda itu. Saya memang ingin jadi motivator bu, tetapi di satu sisi memang saya merasa belum percaya diri. Saya masih nyaman dengan buku dan tulisan. Saya masih harus berjuang melawan diri saya, ditambah lagi gempuran pesimisnya orang tua terhadap saya.” tanggap Fiska.

“Nah itu dia, kamu sudah tau apa masalah yang ada di dirimu sebenarnya. Tidak usah memperhatikan orang lain. Perhatikan dirimu sendiri dulu karena dirimu sendirilah yang harus dilawan!” tegas Bu Fifi.

“Ketika dirimu sendiri sudah di lawan, maka potensimu akan keluar. Jangan pedulikan penilaian orang lain karena hal itu akan menghentikan langkahmu. Coba liat potensi yang ada di dirimu sendiri, maksimalkan yang ada. Bu Fifi yakin Tuhan tidak akan diam saja melihat makhlukNya berjuang menuntut ilmu demi mencapai apa yang diinginkan. Belum tentu pula yang menurutmu baik, menurutNya baik, maupun sebaliknya. Jadi, jalani apa yang bisa kamu jalani sekarang, belajar mencintai diri sendiri, kembangkan apa yang bisa kamu bisa sekarang. Latih kepercayaan dirimu dengan menerima versi terbaikmu.”

----------

----------

Lamunan Fiska kembali ke masa lalu di mana hatinya tergerak untuk melawan dirinya sendiri dengan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain, mengikuti berbagai pelatihan maupun seminar publik speaking. Seketika hal yang dia bangun selama ini runtuh hanya karena sanggahan "Si Audience" yang begitu mengena di hatinya.

“Ayo Fiska, kamu tidak boleh kalah lagi!”, gumamnya memotivasi dirinya sendiri.

Berhari-hari dia merasa masih malu bertemu dengan “Si Audience”. Seketika itu pula perhatian Fiska terus tertuju pada “Si Audience” itu. Tanpa dia sadari pikirannya dipenuhi rasa penasaran dengan “Si Audience”. Semakin dia ingin menghindar, semakin tugas kuliah mengharuskan mereka bersama. Ada satu proyek molekuler yang akhirnya mempersatukan mereka. Hari demi hari dilewati dengan diskusi yang awalnya hanya satu arah berlanjut menjadi dua arah. Fiska tidak tinggal diam. Dia berusaha belajar untuk mengimbangi ilmu “si Audience” yang ternyata luar biasa.

 bersambung......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar