Tahun 2011 adalah
tahun di mana Fiska memasuki babak baru dalam dunia pendidikannya. Setelah
lulus Sarjana (S1) tahun 2009 kemudian bekerja di salah satu sekolah negeri di
Malang, dia menerima nasehat dari ibunya agar melanjutkan kuliah ke jenjang
lebih tinggi lagi, magister. Mau tidak mau dia mengambil jurusan kelanjutan
sarjananya dulu agar linier.
Setelah menyepelekan
waktu ketika kuliah sarjana, kini dia bertekat untuk memperbaiki kualitas
belajarnya, kualitas IP-nya, dan kemampuan lain yang selayaknya dimiliki
mahasiswa seusianya.
Dia merasakan begitu
lancarnya proses pendaftaran dan tes-tes yang dijalani. Dia selalu yakin dengan
restu ibu yang tanpa bantahan, maka jalannya akan lancar. Terbukti saat
pengumuman alhamdulillah dia keterima di salah satu universitas negeri di
Malang.
Masa orientasi selama
pra pasca dia nikmati, berkenalan dan berinteraksi dengan teman-teman baru.
Berbeda dengan jaman dia kuliah sarjana dulu, di program pascasarjana ini dia
memiliki teman dengan jenjang usia yang bervariasi. Ada yang masih seusianya,
ada yang lebih muda, ada yang sudah berkeluarga, ada yang masih single.
Selama kuliah, Fiska
sambil mengenal teman-teman barunya. Mereka saling bekerja sama untuk
menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang rata-rata dilakukan berkelompok. Berbeda
mata kuliah, berbeda pula kelompoknya. Setiap kelompok memberikan pengalaman
tersendiri bagi Fiska. Ada anggota kelompoknya yang rajin, ada yang hanya titip
nama, ada yang ahli di penulisan makalah saja, ada pula yang ahli saat
presentasi. Dia berusaha memaklumi dan mengimbangi berbagai karakter
teman-temannya agar tidak menimbulkan konflik.
--------------------
--------------------
Ternyata sehebat
apapun Fiska berusaha menjaga harmonisasi dirinya dan teman-temannya, dia lupa
bahwa dalam diskusi kelas tidak semulus yang diharapkannya. Saat itu materi
yang dibahas merupakan materi yang kontroversial, EVOLUSI.
Ketika dia mencoba
menjawab pertanyaan dari temannya sebagai audience ternyata di situlah
menimbulkan sanggahan dari audience lain.
“Mohon maaf, saya
kurang setuju kalau apa yang kita pelajari tidak dihubungkan dengan agama.
Segala aktivitas kita bahkan materi pembelajaran kita tidak akan bisa lepas
dari agama.” Kemudian audience tersebut mulai membuka handphonenya, membaca
arti dari Al- Qur’an surah Al-Mukminun ayat 12-14:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah , lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik”.
Dengan nada tegas tapi
tidak melupakan sopan santun dalam berdiskusi, audience tersebut masih
melanjutkan argumennya, “Dari firman Allah yang saya sebutkan tadi,
menggambarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari tanah. Hal tersebut
menegaskan bahwa ketika diciptakan manusia maka seterusnya tetap menjadi
manusia (tidak dapat berubah bentuk). Dari segi biologi molekuler, susunan
kombinasi gen tercatat dengan sangat detail sehingga pandangan terhadap suatu
teori evolusi pada akhirnya akan tetap mengarah kepada ketetapan hukum alam
dari Allah yang bersifat mutlak”.
Fiska tertegun
mendengar jawaban audience itu. Rasanya sudah tidak ada lagi yang ingin Fiska
ucapkan walaupun hatinya menggerutu. Mungkin teman kelompok Fiska yang akhirnya
mewakili perasaannya.
“Terimakasih atas
sanggahannya. Kelompok kami tidak bermaksud mengesampingkan agama. Maksud kami,
beberapa pendapat ahli dahulu tentunya akan tidak bisa sinkron dengan agama
sehingga diharapkan teman memaklumi hal ini.”
“Hmmm, syukurlah….” gumam
Fiska.
----------
----------
Sejak presentasi itu
Fiska jadi lebih memperhatikan lagi apa yang dia bicarakan. Dia seperti menjadi
insecure lagi dengan dirinya. Dari SMP, Fiska merasa insecure dengan dirinya. Dia
selalu membandingkan dirinya dengan teman yang lebih unggul seperti orang
tuanya yang selalu membandingkan Fiska dengan kakaknya, Aprilia. Aprilia yang
berjarak satu tahun dengan Fiska memiliki segudang prestasi. Mulai dari lomba
pidato hingga lomba debat. Fiska yang lebih suka “dibelakang layar” menjadi
insecure melihat kakaknya. Dirinya yang bercita-cita menjadi seorang motivator
perlahan mulai mengkerdilkan cita-citanya sendiri. Fiska mengubur impiannya
dengan hanya membaca buku-buku motivasi, novel, maupun buku parenting kemudian
dituangkannya ke dalam tulisan.
Namun, ketika Fiska
SMA, dia bertemu Bu Fifi, guru biologi yang akhirnya menjadi guru favoritnya. Bu
Fifi mampu membuka wawasan dan meluluhkan hati Fiska yang sempat disetting
keras olehnya supaya tidak mudah rapuh.
“Setiap anak punya
passionnya masing-masing, Fiska. Kakakmu mungkin memang passionnya di area publik
sehingga dia memaksimalkan itu. Prestasi kakakmu yang berhubungan dengan publik
membuat dia lebih terlihat di mata orang tuamu, sedangkan kamu yang passionnya
di dunia buku dan tulisan menjadi tidak terlihat. Kamu yang bercita-cita ingin
menjadi motivator tetapi cenderung introvert membuat sekitarmu termasuk orang
tuamu pesimis dengan hal itu. Kan motivator harus ahli berbicara dan tampil di
depan umum?” kata Bu Fifi menanggapi cerita Fiska yang saat itu konsentrasi dan
prestasinya menurun.
“Iya bu, tapi
seharusnya orang tua mensupport anaknya ada atau tanpa prestasi. Orang tua saya
harusnya menyadari potensi anak yang berbeda-beda itu. Saya memang ingin jadi
motivator bu, tetapi di satu sisi memang saya merasa belum percaya diri. Saya masih
nyaman dengan buku dan tulisan. Saya masih harus berjuang melawan diri saya,
ditambah lagi gempuran pesimisnya orang tua terhadap saya.” tanggap Fiska.
“Nah itu dia, kamu
sudah tau apa masalah yang ada di dirimu sebenarnya. Tidak usah memperhatikan
orang lain. Perhatikan dirimu sendiri dulu karena dirimu sendirilah yang harus
dilawan!” tegas Bu Fifi.
“Ketika dirimu
sendiri sudah di lawan, maka potensimu akan keluar. Jangan pedulikan penilaian
orang lain karena hal itu akan menghentikan langkahmu. Coba liat potensi yang
ada di dirimu sendiri, maksimalkan yang ada. Bu Fifi yakin Tuhan tidak akan
diam saja melihat makhlukNya berjuang menuntut ilmu demi mencapai apa yang
diinginkan. Belum tentu pula yang menurutmu baik, menurutNya baik, maupun
sebaliknya. Jadi, jalani apa yang bisa kamu jalani sekarang, belajar mencintai
diri sendiri, kembangkan apa yang bisa kamu bisa sekarang. Latih kepercayaan
dirimu dengan menerima versi terbaikmu.”
----------
----------
Lamunan Fiska kembali
ke masa lalu di mana hatinya tergerak untuk melawan dirinya sendiri dengan
lebih banyak berinteraksi dengan orang lain, mengikuti berbagai pelatihan
maupun seminar publik speaking. Seketika hal yang dia bangun selama ini runtuh
hanya karena sanggahan "Si Audience" yang begitu mengena di hatinya.
“Ayo Fiska, kamu
tidak boleh kalah lagi!”, gumamnya memotivasi dirinya sendiri.
Berhari-hari dia
merasa masih malu bertemu dengan “Si Audience”. Seketika itu pula perhatian
Fiska terus tertuju pada “Si Audience” itu. Tanpa dia sadari pikirannya
dipenuhi rasa penasaran dengan “Si Audience”. Semakin dia ingin menghindar,
semakin tugas kuliah mengharuskan mereka bersama. Ada satu proyek molekuler
yang akhirnya mempersatukan mereka. Hari demi hari dilewati dengan diskusi yang
awalnya hanya satu arah berlanjut menjadi dua arah. Fiska tidak tinggal diam. Dia
berusaha belajar untuk mengimbangi ilmu “si Audience” yang ternyata luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar