Akhir-akhir ini bullying sudah menyebar seperti virus. Ditambah lagi adanya peran sosial media, menambah semarak viral kasus-kasus bullying. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak bullying adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan orang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri. Bullying merupakan tindakan menyimpang yang dapat membuat seseorang takut, tidak bahagia, bahkan terancam.
Salah satu faktor munculnya
tindakan bullying ini disebabkan karena anak-anak penuh dengan energi serta
dinamika. Kalau energi ini tidak disalurkan melalui hal-hal yang positif,
mereka dapat menyalurkan energi itu kepada aktivitas-aktivitas negatif misalnya
bullying.
Indikator terjadinya bullying:
1. Perilaku agresif
2. Relasi yang timpang
3. Keadaan yang berulang
4. Paksaan yang menimbulkan ketidaknyamanan/rasa
sakit atau cedera
Bentuk-bentuk bullying antara lain:
Ø Verbal: Membentak, berteriak, memaki, menghina, meledek, mencela,
mempermalukan, dll
Ø Fisik: Menampar, mendorong, mencubit, menjambak, menendang,
meninju, dll
Ø Sosial: Mengucilkan, membeda-bedakan, mendiamkan, dll
Ø Perundungan di dunia maya (Cyber Bullying): tindakan menyakiti, mengintimidasi, mengancam,
mengucilkan seseorang melalui internet,jejaring sosial, mobile phone, atau teknologi digital
Menurut data KPAI pada tahun 2021 tercatat terjadi 53 kasus anak korban bullying di lingkungan sekolah dan 168 kasus bullying di dunia maya, sedangkan Januari hingga Oktober 2022, kasus bullying di sekolah meningkat menjadi 81 kasus. Sebaliknya, kasus bullying di dunia maya menurun menjadi 18 kasus.
Berdasarkan data tersebut ternyata bullying di dunia maya terjadi lebih banyak ketika kasus Corona meningkat. Pembelajaran banyak dilakukan secara daring dan siswa lebih dominan interaksinya dengan gawai. Ketika pembelajaran mulai dilakukan secara tatap muka, kasus bullying di sekolah menjadi meningkat dan kasus di dunia maya menjadi menurun.
Apakah dapat disimpulkan bahwa sekolah menjadi tempat paling rawan terjadinya bullying?
Pengalaman bersekolah, berteman, serta berinteraksi dengan lingkungan sekitar meninggalkan riwayat memori yang dapat mempengaruhi dinamika emosi. Anak-anak mendengar, melihat, dan merasakan banyak hal dalam interaksi sosial. Bullying di sekolah atau lingkungan merupakan salah satu pemicu munculnya dinamika emosi negatif pada anak. Oleh karena itu, sekolah bekerja sama dengan orang tua harus memperhatikan apa saja yang didengar anak kita, apa saja yang dilihat anak kita, dan apa saja yang dirasakan. Orang tua dan pendidik diharapkan mampu menjaga anak didiknya dari paparan negatif yang bisa menjadi "riwayat negatif" untuk anak. Anak-anak harus mendapat sentuhan, pembiasaan, ketegasan, dan konsistensi di rumah dan di sekolah, agar sikapnya dalam mengelola dinamika emosi dapat terbentuk. Adab dan etika dalam bersosialisasi harus dilatihkan di rumah juga di sekolah agar fitrah sosiabilitasnya berkembang secara seimbang.
Sekolah memang menjadi tempat di mana sebagian besar anak-anak menghabiskan waktu di jam produktifnya. Namun, di zaman milenial seperti ini, anak-anak sepertinya tidak dapat lepas dari gawainya. interaksi mereka tidak hanya terjadi secara tatap muka, tetapi juga dilakukan lewat sosial media. Sekolah bahkan orang tua memang tidak dapat mengotrol penuh atas penggunaan gawai. Akan tetapi, berbagai pihak terkait dapat melakukan upaya pencegahan atau meminimalisir adanya kasus bullying. Jika dilakukan upaya deteksi dini dengan cara memperkuat tri pusat pendidikan, yakni sekolah, orang tua dan masyarakat, maka kasus bullying bisa diantisipasi lebih awal.
Pemerintah tentunya juga dapat ikut berperan dalam upaya pencegahan bullying ini. Melalui Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), pemerintah menggaungkan kurikulum merdeka. Kemdikbudristek telah menerbitkan beberapa aturan dan kebijakan tentang pencegahan bullying di sekolah, kebijakan profil Pelajar Pencasila, serta implementasi kurikulum merdeka sebagai upaya menciptakan suasana pembelajaran yang aman, sehat, dan menyenangkan di sekolah. Kurikulum tersebut diharapkan mampu menjadi jalan agar pendidik lebih mengenal anak didiknya.
Dalam Profil Pelajar Pancasila dapat diintegrasikan dengan materi anti bullying. Terdapat 6 elemen karakter yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila, yakni berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.
Untuk mencegah dan menanggulangi kasus-kasus bullying
tersebut juga diperlukan adanya sosialisasi Permendikbud No 82 tahun 2015
tentang pencegahan dan penanggulan Tindak kekerasan di Satuan Pendidikan. Selain
itu perlu dilaksanakan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi kepala sekolah dan guru
yang bersangkutan tentang implementasi aturan tersebut, seperti membentuk
satgas anti kekerasan, membangun sistem pengaduan, membuat SOP pencegahan dan
SOP penanggulangan dalam penanganan tindak kekerasan yang terjadi di satuan
Pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar