Sekolah Abian adalah sekolah yang hijau dan asri. Ada begitu banyak pohon besar, rerumputan yang tertata rapi membuat suasana di sekitar sekolah menjadi sejuk dan bersih. Bangunan-bangunan tersebut tersusun rapi membentuk persegi panjang. Di tengahnya terdapat lapangan yang biasa digunakan sebagai tempat olahraga dan upacara.
Sekolah tersebut tergolong luas dan dikelilingi pagar pendek yang sederhana. Secara keseluruhan, terdiri atas 11 bangunan yang terdiri dari 6 ruang kelas, 1 ruang guru, 1 laboratorium gabungan, 2 toilet, dan 1 mushollah.
Saat memasuki sekolah kita akan disambut dengan tulisan”. Kelas Abian terdapat di sebelah kanan mushollah. Di dinding kelas tersebut terdapat berbagai macam gambar pahlawan dan tulisan Pancasila.
“Pancasila, Satu Ketuhanan yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Presiden."
Suara lantang teman Abian, Malik, membacakan teks Pancasila ditertawakan oleh semua murid di kelas. Ia salah membacakan sila keempat. Bu Sari selaku guru kelas tersebut pun ikut tersenyum mendengarnya.
“Tidak apa-apa Malik, coba kamu hafalkan lagi dirumah ya. Sekarang kamu bisa duduk di bangkumu sendiri." ucap Bu Sari dengan lembut.
Bel tanda istirahat telah berbunyi. Seluruh murid beranjak keluar kelas untuk istirahat. Tak terkecuali Abian dengan teman barunya, Malik. Mereka berdua berjalan menuju ke kantin sekolah. Setelah membeli beberapa makanan mereka pun kembali duduk di kelas.
“Hei Abian, bolehkah aku main kerumahmu selepas pulang sekolah nanti?” tanya Malik pada Abian.
“Boleh-boleh saja Malik, tapi apakah orang tuamu mengizinkan?” Jawab Abian sembari bertanya kembali kepada Malik.
“Aku sudah izin pada orang tua ku tadi pagi dan mereka sudah mengizinkan”. Jawab Malik.
“Baiklah nanti sepulang sekolah kita naik sepeda bersama kerumahku.” Jawab Abian
***
Bel sekolah berbunyi. Abian dan Malik segera bergegas keluar kelas menuju ke tempat parkir sepeda. Mereka bersepeda bersama ke rumah Abian. Ini merupakan kali pertama Malik bermain ke desa Abian.
“Malik, orang tuamu enggak khawatir kamu bermain ke desaku? Kamu kan pendatang.” tanya Abian yang penasaran dengan mudahnya orang tua Malik mengizinkan anaknya bermain ke desa yang belum pernah dikunjungi tanpa didampingi.
“Aman Bian, santai saja. Ayahku terbiasa berpindah tempat tugas. Aku pun terbiasa dilatih mandiri, berani, dan bertanggung jawab. Jadi, hal seperti ini sudah biasa bagiku.”
Sambil mengayuh sepeda Abian tetap masih terperanga dengan sikap orang tua Malik yang begitu berani melepas anaknya. Berbanding terbalik dengan orang tuanya sendiri yang selalu khawatir melepas Abian pergi ke sekolah tanpa didampingi Mbak Alfi. Baru ketika satu bulan berjalan, orang tuanya mengizinkan Abian berangkat seorang diri.
“Abian, apakah itu jembatan yang sering dibicarakan teman-teman kita?” tanya Malik sesampainya di persimpangan jalan.
“Iya, Lik. Namun, aku tidak pernah melewatinya. Mbak Alfi selalu melarangku ke sana. Orang-orang di sekitar sini pun juga tidak ada yang melewati jembatan itu.”
“Memangnya kenapa, Bian? Sepertinya tidak ada yang aneh dari jembatan itu.” tanya Malik penasaran.
“Hmm, aku pun tidak tau, Lik. Mbak Alfi tidak bercerita banyak. Dia Cuma bilang kalau ketika kita melewati jembatan itu, maka kita akan mendengar sesuatu dan hanya diri kita sendiri yang dapat mendengar. Orang lain tidak.” jelas Abian.
Watak Malik yang merupakan anak petualang dan pemberani membuat Malik nekat melewati jembatan tersebut. Dia mengajak Abian bersepeda ke sana untuk membuktikan apa yang dialami warga. Abian yang awalnya menolak, akhirnya setuju juga setelah diyakinkan berkali-kali oleh Malik.
Malik tidak sedikit pun takut melintas jembatan tersebut. Bahkan dia mengajak bolak balik melewati jembatan itu untuk mempertegas jika tidak ada apa-apa. Abian menuruti apa yang dilakukan Malik. Hingga akhirnya Abian merasakan suatu keanehan.
“Hallo Abian! Kamu tidak perlu takut lewat sini. Kamu akan aman denganku”. tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan Abian.
“Ha, darimana suara itu?” gumam Abian dalam hati.
“Malik, apa kamu mendengar sesuatu?”
“Iya, Bi. Aku mendengar suara nyanyian sungai”
“Huft, bukan itu, Lik. Apa kamu mendengar orang yang berbicara denganmu?”
“Em, enggak, Bi. Memangnya kamu dengar sesuatu, Bi?”
“Eh, enggak, Lik.” jawab Abian menyembunyikan apa yang dia dengar tadi. Abian mengalihkan pikirannya. “Ah, mungkin itu cuma halusinasiku saja”.
“Kalau begitu ayo kita segera ke rumah! Mungkin ibuku sudah menunggu. Aku tidak pernah pulang sekolah terlambat.” ajak Abian.
Mereka bergegas pulang ke rumah Abian. Namun, dalam hati Abian, dia berniat untuk berpetualang lagi melewati jembatan ini besok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar