Di sebuah pedesaan hidup seorang anak bernama Abian. Orang tua Abian berharap dengan kelahiran anaknya, maka keluarga akan diselimuti kegembiraan, sesuai dengan arti namanya. Benar saja, sejak kecil Abian memang membawa kebahagiaan dan keceriaan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Di usianya yang menginjak 13 tahun, Abian telah tumbuh
menjadi anak yang sehat, berbakti, dan pandai bergaul. Dia mempunyai keluarga
yang hangat, teman-teman yang baik, serta lingkungan yang mendukung untuk
tumbuh kembangnya.
Tepat di pertengahan Juli tahun ini, Abian memasuki bangku Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Sekolahnya terletak di perbatasan antar desa dan
berjarak sekitar 7 km dari rumahnya. Abian bisa menempuhnya dengan naik sepeda.
__
“Abian, ayo bangun, Nak! Sudah jam 5 saatnya bangun.” ucap
ibu sambil melipat selimut yang menutupi tubuh mungil Abian.
“Iya bu, tapi Abian masih ngantuk.” tawar Abian agar dia
bisa sedikit lagi melanjutkan tidurnya.
“Oke lah kalau masih mau tidur silahkan, tapi nanti kalau
terlambat ke sekolah jangan ngeluh ke ibu ya?” tegas ibu mengajari anaknya
resiko dari suatu keputusan yang dibuat Abian.
“Iya iya bu, Abian bangun.” jawab Abian dengan malas.
Abian kemudian bergegas mandi lalu makan bersama keluarga.
Ayah, Ibu, Kakak, dan Abian membiasakan diri selalu bangun
pagi. Begitu selesai mandi, mereka menuju meja makan mungil berbentuk persegi
untuk sarapan bersama. Tradisi ini diturunkan dari kakek dan nenek Abian. Mereka
selalu mengajarkan penting dan sehatnya aktivitas di pagi hari.
“Abian, hari ini hari pertamamu masuk sekolah. Jangan lupa
pesan ayah ibu ya! Jaga diri baik-baik karena sekolahmu sekarang lebih jauh. Hari
ini kamu berangkat diantar mbak Alfi ya?” kata ayah.
Abian mengangguk seraya pamit berangkat sambil mencium
tangan kedua orang tuanya.
___
Matahari telah muncul dari peraduannya. Hawa sejuk nan
hangat menyapa. Sesekali Abian menarik nafas lebih dalam menikmati udara segar
di desanya. Pagi itu Abian berangkat berboncengan dengan kakaknya, Alfi.
Selama diperjalanan Abian mengajukan banyak pertanyaan
kepada kakaknya yang baru lulus SMA. Abian terdengar antusias dengan sekolah
dan teman-teman barunya. Namun, sesekali tersirat dia takut dengan lingkungan
barunya.
Melihat hal tersebut kakaknya berusaha memberikan motivasi dan
menenangkan Abian. Mbak Alfi tidak menceritakan perundungan yang pernah ia dapatkan
di sekolahnya dulu. Ia khawatir Abian akan takut menghadapi teman-temannya. Kemudian
Mbak Alfi mencoba mengalihkan pembicaraan dengan topik lainnya.
“Dek, jalan yang kita lalui ini dulunya cuma jalan setapak
dan berlumpur. Sekarang jalan itu diperlebar lagi dan diperbaiki agar bisa
memudahkan akses warga saat berniaga. Coba lihat di sebelah sana! Berbeda dengan
jalan ini, jalan di sebelah sana tetap dibiarkan seperti itu, asli dan alami,” terang
Mbak Alfi.
“jarang ada yang mau melewati jalan itu seorang diri. Ada
yang pernah menemukan keanehan di jalan itu, tepatnya di area jembatan.” tambah
kak Alfi.
“Apanya yang aneh, Mbak?” tanya Abian penasaran.
“Mbak Alfi juga enggak tau. Orang-orang bilang kita bisa
mendengar sesuatu yang hanya bisa didengar oleh diri kita sendiri.”
Abian penasaran dengan apa yang diceritakan Mbak Alfi. Rasanya
ingin sekali berhenti sejenak untuk melihat. Namun, Mbak Alfi melarang. “Jangan,
sudah enggak usah aneh-aneh”. Mbak Alfi
tetap meneruskan perjalanan tidak memperdulikan pikiran Abian yang masih
penasaran dengan hal aneh itu.
__
“Assalamualaikum, selamat pagi semuanya. Perkenalkan, nama
saya Abian. Saya anak kedua dari dua bersaudara. Saya mempunyai kakak
perempuan. Rumah saya di desa sebelah, yaitu Desa Makmur. Senang sekali bisa
berteman dengan kalian. Salam kenal.” sapa Abian dalam sesi perkenalannya.
“Abian, kalau kamu dari desa sebelah, berarti kamu melewati
jembatan pelangi suara itu dong?” tanya teman Abian.
Awalnya Abian kebingungan menjawab pertanyaan temannya. Lalu
ia teringat cerita kakaknya tentang jalan yang aneh yang dilewati ketika
berangkat ke sekolah. Abian pun semakin penasaran dengan keanehan yang ada di
jembatan tersebut. Ia pun merencanakan untuk mengunjungi jembatan tersebut.
__
Keesokan harinya, Abian meminta izin kepada ayahnya saat
sarapan bersama.
“Yah, Abian berangkat sekolah naik sepeda sendiri boleh?”
“Loh Abian sudah berani naik sepeda ke sekolah sendiri? Ini masih
hari kedua, apa kamu sudah hafal jalan?” tanya ayah khawatir.
“Mbak antar aja deh, dek. Ayah ibu masih belum tenang
melepasmu naik sepeda sendiri ke sekolah.”
“Iya, le, diantar mbak Alfi dulu ya. Nanti kalau sudah hafal
jalan dan terbiasa, Abian boleh berangkat dan pulang sendiri.” ibu pun ikut
khawatir.
Hmm, baiklah kali ini rencana belum bisa dilakukan. Abian
akan mencobanya di lain waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar