Siang itu sepulang sekolah hujan turun membasahi tanah. Terlihat
gadis berparas cantik, anak salah satu perangkat desa sedang menunggu hujan
reda. Tadi dia telah mengayuh sepedanya separo jalan, akan tetapi hujan
membasahi tubuhnya. Dia memutuskan untuk berhenti di gazebo pinggir sawah tak
jauh dari jembatan.
Hari ini tidak seperti biasanya. Teman-temannya masih
mengikuti pengarahan ekstrakurikuler di sekolah, sehingga dia memutuskan untuk
pulang sendiri.
Tak berselang lama, ada sepeda motor yang ikut berteduh
dengannya.
Dia akhirnya tau siapa yang ikut berteduh setelah lelaki
tersebut melepas helmnya.
“Oalah ternyata ayah. Ayah darimana?”
“Ayah dari kota. Tadi ayah harus membeli beberapa peralatan
untuk desa dan persiapan acara 17 Agustusan.”
“Wah pasti seru acara 17-an di desa kita. Konsep acaranya
gimana, Yah?”
“Hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja tahun
ini ayah berencana mengadakan nobar alias nonton bareng.”
“Yey, bisa nonton bersama semua warga ya? Memangnya mau
nonton apa, Yah?”
“Belum tau, soal judul filmnya belum dirembukkan dengan
perangkat desa yang lain maupun dengan warga. Kamu dari sekolah? Kenapa berhenti
di sini?”
“Iya, Yah. Tadu hujannya ternyata cukup deras jadi aku
memutuskan berteduh saja, walaupun bajuku sudah agak basah.”
Mata lelaki paruh baya itu kemudian melihat baju putrinya. Baju
seragam putih abu-abu yang dikenakannya basah membuat lekuk tubuhnya lebih terlihat.
Hasrat yang tertahan lama karena istrinya dinas keluar kota selama seminggu
ingin dipuaskan saat itu.
Nampaknya lelaki itu tidak peduli dengan siapa dia
berhadapan. Anak yang seharusnya dia lindungi, kini menjadi santapan nafsu
birahinya. Dengan bujuk rayunya sebagai seorang ayah, gadis itu pun di bawa ke
bawah jembatan. Di sanalah semuanya terjadi.
Setelah memuaskan hasratnya, lelaki itu pun beranjak pulang.
Dia mengambil sepeda motornya yang terparkir di gazebo dekat jembatan. Namun,
gadis itu tidak ada daya menguasai tubuhnya sendiri. Dia begitu lemas dan shock
dengan apa yang baru terjadi pada dirinya.
Dia menangis sejadi-jadinya. Tak menyangka ayahnya berbuat
demikian. Dia pun diancam agar tidak melapor pada siapapun.
Ternyata rintihan tangis gadis itu terdengar oleh Dokter Ega
yang akan masuk ke rumah. Dokter Ega mencari sumber suara dan kemudian menemukan
gadis itu menangis tanpa busana. Dokter itu pun segera melepas jasnya dan
dipakaikan ke gadis lemah yang ternyata bernama Lestari.
Dokter Ega menuntun Lestari ke rumah yang ia tinggali selama
mengabdi di desa tersebut. Saat Dokter Ega memapah Lestari, ada Mbak Alfi yang
menatap dari kejauhan. Kaget dengan apa yang ia lihat. Namun, ia tidak berani
untuk mendekat. Ada rasa cemburu ketika Mbak Alfi melihat kejadian itu.
Sesampainya di rumah, Dokter Ega menenangkan Lestari dan
mengambilkannya air putih serta baju yang lebih layak. Setelah semuanya tenang,
Dokter Ega mengorek informasi dari Lestari tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Siapa yang melakukan itu?”
“Dia… emm… dia…”
“Tidak usah takut, aku akan berusaha mencari jalan keluar. Aku
tidak akan menyebutkan nama itu ke orang lain. Aku akan berusaha menyembunyikan
yang aku tau sebisaku.”
Lestari kemudian bercerita tentang apa yang dia alami. Termasuk
menyebutkan nama ayah tirinya yang tega berbuat seperti itu.
Betapa kagetnya Dokter Ega dengan apa yang baru saja ia
dengar. Lelaki bejat itu ternyata adalah kepala desa, Pak Ali. Sosok Pak Ali
begitu dihormati Dokter Ega karena kebijakan-kebijakan beliau yang luar biasa,
cara beliau berinteraksi dengan warga, dan ide kreatifnya yang memajukan desa. Sekarang
rasa hormat itu runtuh.
__
Dua bulan setelah kejadian itu, Lestari mengalami mual dan
muntah.
“Nduk, kamu baik-baik saja?” tanya ibu Emi, ibu dari Lestari
yang sudah pulang dinas.
“Tidak apa-apa bu. Mungkin hanya masuk angin biasa.” jawab Lestari
dengan khawatir karena dia teringat jadwal menstruasinya yang sudah terlambat 2
minggu.
Pulang sekolah Lestari pergi ke apotek arah ke kota. Dia membeli
alat tes kehamilan. Kemudian dia bergegas melakukan tes di kamar mandi yang
tersedia di apotek tersebut.
Setelah menunggu beberapa detik, ternyata muncul garis dua
berwarna merah dari alat tersebut. Garis dua itu menandakan bahwa Lestari telah
positif hamil.
Lestari berusaha mengontrol dirinya agar dia bisa pulang
dalam keadaan tenang dan baik-baik saja walaupun pikirannya sedang kalut.
Lestari kemudian menghubungi ayah tirinya mengabarkan hal
itu. Namun, ayahnya meminta Lestari menggugurkan kandungannya. Lestari menolak.
Walaupun yang dikandungnya adalah bayi hasil perbuatan tidak senonoh ayah
tirinya, tapi dia tidak ingin melakukan dosa dengan membunuh janinnya.
Lestari mengayuh sepedanya ke rumah. Namun, sesampainya di
jembatan, dia dihadang oleh beberapa pemuda bertopeng. Mereka berusaha membunuh
Lestari. Mayat Lestari akan dihanyutkan ke sungai. Akan tetapi, kedatangan
Dokter Ega membuat penjahat tersebut kabur duluan.
Dokter Ega beranjak ke bawah jembatan karena melihat sepeda
Lestari yang terparkir di pinggir jembatan. Dokter Ega berusaha mencari Lestari
namun tidak ada sahutan suara dari Lestari. Hingga akhirnya Dokter Ega
menemukan Lestari berlumuran darah.
Tanpa basa basi, Dokter Ega memeriksa Lestari. Dia berharap
nyawa Lestari masih bisa diselamatkan. Namun, ternyata tidak. Dokter Ega tidak
menemukan denyut jantung Lestari sama sekali.
Dokter Ega menggendong Lestari dan akan membawanya ke
puskemas terdekat. Di saat yang sama pula rombongan polisi, Pak Ali, dan
perangkat desa beserta warga datang. Mereka menyaksikan Dokter Ega bersama mayat
Lestari.
___
“Jadi, Dokter Ega bukan pelakunya?” tanya Abian ke jembatan
pelangi.
“Bukan, Dokter Ega saat itu berada pada tempat yang salah
dan di waktu yang tidak tepat.”
“Lalu sekarang di mana Dokter Ega?” Abian penasaran.
“Dia di penjara.”
“Apa? Apakah tidak ada satupun yang menyadari kejanggalan
peristiwa itu?
“Satu-satunya yang bisa mengungkap adalah diary yang
dimiliki oleh Lestari. Dia selalu menyimpannya di tas. Namun, saat kejadian,
diary itu tidak ada yang menemukan. Hingga akhirnya kakakmu, Mbak Alfi yang
menemukannya.”
“Tapi, kenapa Mbak Alfi diam saja?”
“Kakakmu tidak tuntas membaca diary itu. Dia langsung
menutup dan menyimpan diary itu begitu tau Lestari mengungkapkan rasa sayangnya
pada Dokter Ega dalam diarynya.”
Abian kemudian bergegas menuju ke rumahnya. Dia langsung
menanyakan hal itu kepada Mbak Alfi. Mbak Alfi yang sedikit kaget sekaligus
marah pun akhirnya bersedia menceritakan apa yang terjadi menurut versi dia dan
memberikan diary Lestari kepada Abian.
Abian dan Mbak Alfi pun terperanga membaca diary itu. Mereka
kemudian berdiskusi tentang apa yang harus mereka lakukan. Akhirnya mereka
memutuskan untuk melaporkannya kepada kepolisian tempat Dokter Ega ditahan.
Dari laporan Abian dan Mbak Alfi, polisi melakukan
penyelidikan ulang. Setelah proses yang rumit, mereka menetapkan bahwa
tersangka sebenarnya adalah Pak Ali, mantan kepala desa. Kemudian pihak kepolisian
membebaskan Dokter Ega yang dulu tidak
mempunyai bukti kuat untuk melakukan pembelaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar