Siang itu hujan menguyur bangunan sederhana yang telah ramai dengan suara anak-anak. Mereka seolah tak sabar untuk segera pulang. Derasnya hujan membuat mereka terpaksa tertahan di sekolah walapun bel pulang telah berbunyi.
Tak terkecuali Abian. Dia amat tidak sabar untuk segera
meninggalkan sekolah. Hari ini dia berencana pergi ke jembatan itu
menghilangkan rasa penasarannya.
“Hei Abian! Wajahmu kenapa begitu gelisah?” tanya Malik yang
ternyata sedari tadi melihat Abian.
“Eh, em.. enggak Lik, aku cuma khawatir ibu menungguku di
rumah.” jawab Abian berbohong pada sahabatnya sendiri.
“Ah kamu Bi, anak cowok sudah 13 tahun takut sekali pulang
terlambat? Aku yakin ibumu tahu lah kalau kamu harus pulang terlambat karena
hujan.” sahut Malik yang dari dulu terbiasa mandiri, berbeda dengan Abian.
Abian hanya mengangguk. Dia sebenarnya setuju dengan pendapat
Malik. Ibunya pasti mengerti kenapa dia pulang terlambat. Itulah mengapa begitu
perlahan hujan mulai mereda, Abian menerobos. Dia mengambil sepedanya dan
bergegas meninggalkan sekolah.
“Abian, Abian, tunggu. Ini kan masih hujan. Tunggulah sebentar
biar hujan benar-benar reda!” kata Malik yang khawatir sahabatnya sakit karena
kehujanan.
Abian tetap mengayuh sepedanya tak mempedulikan ocehan
Malik. Semakin cepat dia meninggalkan sekolah, maka semakin cepat pula dia
dapat menelisik tentang jembatan.
Dari kejauhan terlihat pelangi muncul. Hujan benar-benar
reda ketika abian hampir sampai di jembatan.
Abian memberanikan diri melewati jembatan itu. Bolak balik
dia mengendarai sepedanya di jembatan itu. Namun, tak ada apapun di sana.
“Ah, memang ternyata halusinasiku saja kemarin.” ucap Abian
dalam hati.
Kemudian Abian pun memutar balikkan sepedanya kearah jalan
pulang. Betapa terkejutnya Abian saat dia membalikkan badan. Dia melihat
pelangi muncul di hadapannya.
Pelangi itu membentuk suatu jembatan yang mengarah ke suatu
tempat bercahaya. Abian terkesima dengan apa yang dia lihat.
Abian pelan-pelan menapaki jembatan pelangi itu dengan
menuntun sepedanya. Abian mulai memasuki tempat yang amat indah. Tempat itu
bercahaya bagai taman di surga.
“Tempat apa ini? Kenapa jadi ada tempat ini?” gumam Abian
dalam hati.
“Tenang Abian, kamu aman di sini. Kami akan menjagamu.” jawab
seseorang yang entah di mana wujudnya.
“Siapa kamu? Di mana kamu? Tempat apa ini?” Abian
memberondong pertanyaan.
“Aku adalah bagian dari jembatan pelangi ini. Badanku sedang
kau lewati. Aku menjembatanimu menuju ke lorong waktu.”
“Lorong waktu?”
“Iya, lorong waktu. Kamu bisa memintaku untuk mengantarkanmu
ke waktu lampau yang kamu inginkan.”
“Wow, bagaimana bisa? Apakah hanya aku yang bisa mengalami
hal ini? Kemarin Malik sahabatku juga pergi bersamaku kemari. Namun, dia tidak
mendengar atau pun melihat hal aneh yang aku lihat sekarang.”
“Hahaha, iya Abian, tidak semua orang dapat melihat apa yang
kamu lihat sekarang. Hanya orang-orang yang berhati bersihlah yang dapat
mengalami hal ini.”
“Berhati bersih? Apa maksudmu sahabatku tidak berhati
bersih? Hati-hati kalau bicara. Malik adalah teman yang baik bagiku.”
“Aku tau, dia adalah teman yang baik. Akan tetapi, Malik
mempunyai sifat yang amat sombong terutama tentang keberaniannya dan
kemandiriannya.”
“Bukankah hal itu wajar bagi anak seusia kami?”
“Wajar, tapi bagi kami jembatan pelangi, kesombongan dapat
menutupi keindahan sehingga Malik tidak bisa melihat apa yang kamu lihat
sekarang.”
Walaupun sebenarnya Abian belum sepenuhnya menerima apa yang
disampaikan jembatan pelangi, tapi Abian sudah teralihkan dengan lorong waktu
yang muncul di depannya. Dia kembali ke masa lalunya.
__
Dahulu desa ini merupakan desa yang amat jauh dari peradapan
kota. Infrastruktur yang ada pun juga masih kurang dan beberapa ada yang mulai
rusak.
Lorong waktu itu menunjukkan daerah sekitar jembatan pelangi
itu. Abian melihat jembatannya masih amat kokoh. Pohon-pohon berjajar rapi dan rimbun
membuat jembatannya teduh. Jembatan itu dilalui orang-orang pedesaan yang akan
berniaga ke desa lainnya atau pun pergi ke kota.
Namun, keasrian dan kemurnian desa itu mulai terusik dengan
kedatangan seseorang dari perkotaan. Dia merupakan dokter yang ditugaskan
mengabdi di pedesaan.
Dokter tersebut adalah orang yang gagah, terlihat berwibawa
dan mampu cepat beradaptasi dengan warga sekitar. Dokter yang bernama Ega itu
tinggal di salah satu rumah warga tak jauh dari jembatan. Dia memilih di sana
karena suka dengan suara air yang tenang.
Betapa terkejutnya Abian. Setelah satu bulan dokter tersebut
bertugas, ternyata ada kejadian yang diluar perkiraan semua orang. Dokter Ega
menghamili salah satu anak perangkat desa.
Semua warga tampak kaget dengan peristiwa itu. Warga mendesak
agar Dokter Ega segera keluar dari desa tersebut. Namun, orang tua dari
perempuan yang dihamilinya menuntut pertanggungjawaban. Bukannya pertanggungjawaban
yang ia dapatkan. Ia malah mendapatkan mayat anak perempuannya yang mengandung
3 bulan. Mayat tersebut ditemukan di jembatan yang kini dilalui Abian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar