Jumat, 16 Juni 2023

Abian dan Jembatan Pelangi Suara (3)

Siang itu hujan menguyur bangunan sederhana yang telah ramai dengan suara anak-anak. Mereka seolah tak sabar untuk segera pulang. Derasnya hujan membuat mereka terpaksa tertahan di sekolah walapun bel pulang telah berbunyi.

Tak terkecuali Abian. Dia amat tidak sabar untuk segera meninggalkan sekolah. Hari ini dia berencana pergi ke jembatan itu menghilangkan rasa penasarannya.

“Hei Abian! Wajahmu kenapa begitu gelisah?” tanya Malik yang ternyata sedari tadi melihat Abian.

“Eh, em.. enggak Lik, aku cuma khawatir ibu menungguku di rumah.” jawab Abian berbohong pada sahabatnya sendiri.

“Ah kamu Bi, anak cowok sudah 13 tahun takut sekali pulang terlambat? Aku yakin ibumu tahu lah kalau kamu harus pulang terlambat karena hujan.” sahut Malik yang dari dulu terbiasa mandiri, berbeda dengan Abian.

Abian hanya mengangguk. Dia sebenarnya setuju dengan pendapat Malik. Ibunya pasti mengerti kenapa dia pulang terlambat. Itulah mengapa begitu perlahan hujan mulai mereda, Abian menerobos. Dia mengambil sepedanya dan bergegas meninggalkan sekolah.

“Abian, Abian, tunggu. Ini kan masih hujan. Tunggulah sebentar biar hujan benar-benar reda!” kata Malik yang khawatir sahabatnya sakit karena kehujanan.

Abian tetap mengayuh sepedanya tak mempedulikan ocehan Malik. Semakin cepat dia meninggalkan sekolah, maka semakin cepat pula dia dapat menelisik tentang jembatan.

Dari kejauhan terlihat pelangi muncul. Hujan benar-benar reda ketika abian hampir sampai di jembatan.

Abian memberanikan diri melewati jembatan itu. Bolak balik dia mengendarai sepedanya di jembatan itu. Namun, tak ada apapun di sana.

“Ah, memang ternyata halusinasiku saja kemarin.” ucap Abian dalam hati.

Kemudian Abian pun memutar balikkan sepedanya kearah jalan pulang. Betapa terkejutnya Abian saat dia membalikkan badan. Dia melihat pelangi muncul di hadapannya.

Pelangi itu membentuk suatu jembatan yang mengarah ke suatu tempat bercahaya. Abian terkesima dengan apa yang dia lihat.

Abian pelan-pelan menapaki jembatan pelangi itu dengan menuntun sepedanya. Abian mulai memasuki tempat yang amat indah. Tempat itu bercahaya bagai taman di surga.

“Tempat apa ini? Kenapa jadi ada tempat ini?” gumam Abian dalam hati.

“Tenang Abian, kamu aman di sini. Kami akan menjagamu.” jawab seseorang yang entah di mana wujudnya.

“Siapa kamu? Di mana kamu? Tempat apa ini?” Abian memberondong pertanyaan.

“Aku adalah bagian dari jembatan pelangi ini. Badanku sedang kau lewati. Aku menjembatanimu menuju ke lorong waktu.”

“Lorong waktu?”

“Iya, lorong waktu. Kamu bisa memintaku untuk mengantarkanmu ke waktu lampau yang kamu inginkan.”

“Wow, bagaimana bisa? Apakah hanya aku yang bisa mengalami hal ini? Kemarin Malik sahabatku juga pergi bersamaku kemari. Namun, dia tidak mendengar atau pun melihat hal aneh yang aku lihat sekarang.”

“Hahaha, iya Abian, tidak semua orang dapat melihat apa yang kamu lihat sekarang. Hanya orang-orang yang berhati bersihlah yang dapat mengalami hal ini.”

“Berhati bersih? Apa maksudmu sahabatku tidak berhati bersih? Hati-hati kalau bicara. Malik adalah teman yang baik bagiku.”

“Aku tau, dia adalah teman yang baik. Akan tetapi, Malik mempunyai sifat yang amat sombong terutama tentang keberaniannya dan kemandiriannya.”

“Bukankah hal itu wajar bagi anak seusia kami?”

“Wajar, tapi bagi kami jembatan pelangi, kesombongan dapat menutupi keindahan sehingga Malik tidak bisa melihat apa yang kamu lihat sekarang.”

Walaupun sebenarnya Abian belum sepenuhnya menerima apa yang disampaikan jembatan pelangi, tapi Abian sudah teralihkan dengan lorong waktu yang muncul di depannya. Dia kembali ke masa lalunya.

__

Dahulu desa ini merupakan desa yang amat jauh dari peradapan kota. Infrastruktur yang ada pun juga masih kurang dan beberapa ada yang mulai rusak.

Lorong waktu itu menunjukkan daerah sekitar jembatan pelangi itu. Abian melihat jembatannya masih amat kokoh. Pohon-pohon berjajar rapi dan rimbun membuat jembatannya teduh. Jembatan itu dilalui orang-orang pedesaan yang akan berniaga ke desa lainnya atau pun pergi ke kota.

Namun, keasrian dan kemurnian desa itu mulai terusik dengan kedatangan seseorang dari perkotaan. Dia merupakan dokter yang ditugaskan mengabdi di pedesaan.

Dokter tersebut adalah orang yang gagah, terlihat berwibawa dan mampu cepat beradaptasi dengan warga sekitar. Dokter yang bernama Ega itu tinggal di salah satu rumah warga tak jauh dari jembatan. Dia memilih di sana karena suka dengan suara air yang tenang.

Betapa terkejutnya Abian. Setelah satu bulan dokter tersebut bertugas, ternyata ada kejadian yang diluar perkiraan semua orang. Dokter Ega menghamili salah satu anak perangkat desa.

Semua warga tampak kaget dengan peristiwa itu. Warga mendesak agar Dokter Ega segera keluar dari desa tersebut. Namun, orang tua dari perempuan yang dihamilinya menuntut pertanggungjawaban. Bukannya pertanggungjawaban yang ia dapatkan. Ia malah mendapatkan mayat anak perempuannya yang mengandung 3 bulan. Mayat tersebut ditemukan di jembatan yang kini dilalui Abian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar