Pagi itu
merupakan pagi yang amat mendebarkan bagi kami sebagai orang tua. Kami telah
selesai mendaftarkan anak kami, Nino ke salah
satu SMA Negeri tak jauh dari rumah
kami.
Sekolah yang
gratis dan jarak yang dekat dari rumah menjadi pertimbangan kami mendaftarkan
anak kami di SMA Negeri tersebut. Itulah salah satu ikhtiar kami agar
pengeluaran kami dapat ditekan.
Berbagai cara
kami lakukan untuk memberi pengertian pada Nino agar mau bersekolah di sana. Sebenarnya
Nino menginginkan sekolah di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) agar selepas
sekolah dia bisa langsung bekerja sehingga tidak merepotkan kami lagi.
Dalam prakteknya
sistem zonasi memanfaatkan aplikasi peta Google.
Titik koordinat acapkali disebut tidak akurat, sehingga menyebabkan calon siswa
gagal masuk seleksi PPDB lantaran perbedaan beberapa meter saja. Padahal jarak
rumah ke sekolah yang didaftarkan berada dalam radius dekat. Sisi itulah yang
membuat kami was-was jika anak kami tidak masuk ke SMA Negeri tersebut.
Ternyata, kabar
PPDB secerah suasana pagi ini. Syukur
Alhamdulillah Nino diterima di sekolah tersebut. Kami bergegas mencari
informasi lanjutan terkait kabar itu.
Kami menerima
sepucuk “surat”. Fokus utama kami langsung pada angka akhir yang terdapat dalam
rincian tersebut. Rp. 2.360.000 terpampang nyata di akhir “surat” itu. Ya, kami
menerima rincian dari biaya seragam yang akan kami beli.
https://jatim.tribunnews.com/2023/07/21/asal-kain-mahal-rp23-juta-seragam-sma-tulungagung-ortu-terpaksa-beli-takut-terancam-beda-warna
Sekolah gratis
sepertinya memang tidak benar-benar ada. Kami ternyata masih harus menanggung
biaya yang mahal terkait keperluan sekolah anak kami.
“Maaf pak,
semua anak wajib membeli satu paket. Tidak
diperkenankan pembelian pecah paket. Pembayarannya dapat dicicil selama 4 hari
nggih. Terakhir pembayaran tanggal 12.”
Bagi kami guru
honorer, biaya 2 juta sudah seperti menyetorkan gaji kami selama satu bulan
untuk baju seragam. Namun, begitulah jawaban yang kami terima ketika kami
meminta keringanan agar anak kami hanya membeli baju olahraga saja, sisanya
biar kami membeli di pasar.
Harga di pasar
jauh lebih murah daripada di sekolah. Untuk satu stel baju seragam putih
abu-abu kalau di sekolah dibandrol harga 359.000. itupun masih berupa kain. Kami
harus mengeluarkan biaya lagi untuk menjahitkan. Sedangkan di pasar, beli
seragam jadi hanya sekitar 150.000 saja.
Polemik
Pengadaan Seragam
Dari tahun ke
tahun permasalahan pengadaan seragam memang masih jadi PR. Namun, tahun ini
dengan perkembangan demokrasi bersosial media yang tinggi, membuat akses
informasi dapat diketahui dengan cepat.
Seperti halnya
dengan berbagai keluhan yang dialami oleh para wali di SMA Negeri tempat Nino
bersekolah. Keluhan tersebut dengan cepatnya tersebar dan mendapatkan respon
dari berbagai pihak pula.
Salah satu pihak
yang merespon adalah pihak sekolah terkait. Humas SMA Negeri tersebut
mengatakan bahwa sekolah tidak mewajibkan siswa untuk membeli seragam. Mereka
hanya memfasilitasi pembelian seragam yang perlu dimiliki oleh siswa baru. Siswa
dapat membeli di luar akan tetapi warna seragam tersebut akan sedikit berbeda,
gradasinya, dan itu wajar.
Respon itu amat
berbeda dengan jawaban yang pernah kami terima saat meminta keringanan. Begitu pun
dengan jawaban terkait cicilan. Pihak humas menyatakan bahwa kami tidak dapat
mencicil. Namun, ketika diwawancarai wartawan, beliau menyatakan bahwa biaya
seragam tersebut dapat dicicil bahkan selama satu tahun.
Tanggapan
Pemerintah Provinsi
Wakil Gubernur
Jawa Timur, Emil Dardak ketika ditemui terkait kasus mahalnya seragam sekolah
menyayangkan adanya peristiwa ini. Emil menegaskan bahwa persoalan seragam
sekolah kini menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan Provinsi Jatim agar
kasus yang sama tidak terulang kembali di PPDB berikutnya.
Pemprov mengaku
telah meminta dinas pendidikan untuk membuat surat edaran ke masing-masing
sekolah SMA/SMK negeri dalam menyikapi
kasus mahalnya seragam sekolah. Surat edaran sedang disiapkan oleh dinas
pendidikan.
Emil Dardak juga
menegaskan bahwa sekolah tidak boleh mewajibkan pembelian seragam di sekolah. Selain
itu, ia mengingatkan kepada wali murid untuk tidak membayar sumbangan paksaan
kepada sekolah karena hal tersebut merupakan diskriminasi.
Adanya solusi
dan peran serta dari pemerinta provinsi diharapkan mampu memberikan titik
terang terkait polemik pengadaan seragam sekolah. Jangan sampai pendidikan
gratis, bikin kantong orang tua mahal menangis.