Rabu, 26 Juli 2023

Sekolah Gratis Malah Bikin Kantong Menangis

Pagi itu merupakan pagi yang amat mendebarkan bagi kami sebagai orang tua. Kami telah selesai mendaftarkan anak kami, Nino ke salah satu SMA Negeri  tak jauh dari rumah kami.

Sekolah yang gratis dan jarak yang dekat dari rumah menjadi pertimbangan kami mendaftarkan anak kami di SMA Negeri tersebut. Itulah salah satu ikhtiar kami agar pengeluaran kami dapat ditekan.

Berbagai cara kami lakukan untuk memberi pengertian pada Nino agar mau bersekolah di sana. Sebenarnya Nino menginginkan sekolah di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) agar selepas sekolah dia bisa langsung bekerja sehingga tidak merepotkan kami lagi.

Dalam prakteknya sistem zonasi memanfaatkan aplikasi peta Google. Titik koordinat acapkali disebut tidak akurat, sehingga menyebabkan calon siswa gagal masuk seleksi PPDB lantaran perbedaan beberapa meter saja. Padahal jarak rumah ke sekolah yang didaftarkan berada dalam radius dekat. Sisi itulah yang membuat kami was-was jika anak kami tidak masuk ke SMA Negeri tersebut.

Ternyata, kabar PPDB  secerah suasana pagi ini. Syukur Alhamdulillah Nino diterima di sekolah tersebut. Kami bergegas mencari informasi lanjutan terkait kabar itu.

Kami menerima sepucuk “surat”. Fokus utama kami langsung pada angka akhir yang terdapat dalam rincian tersebut. Rp. 2.360.000 terpampang nyata di akhir “surat” itu. Ya, kami menerima rincian dari biaya seragam yang akan kami beli.

https://jatim.tribunnews.com/2023/07/21/asal-kain-mahal-rp23-juta-seragam-sma-tulungagung-ortu-terpaksa-beli-takut-terancam-beda-warna

Sekolah gratis sepertinya memang tidak benar-benar ada. Kami ternyata masih harus menanggung biaya yang mahal terkait keperluan sekolah anak kami.

“Maaf pak, semua  anak wajib membeli satu paket. Tidak diperkenankan pembelian pecah paket. Pembayarannya dapat dicicil selama 4 hari nggih. Terakhir pembayaran tanggal 12.”

Bagi kami guru honorer, biaya 2 juta sudah seperti menyetorkan gaji kami selama satu bulan untuk baju seragam. Namun, begitulah jawaban yang kami terima ketika kami meminta keringanan agar anak kami hanya membeli baju olahraga saja, sisanya biar kami membeli di pasar.

Harga di pasar jauh lebih murah daripada di sekolah. Untuk satu stel baju seragam putih abu-abu kalau di sekolah dibandrol harga 359.000. itupun masih berupa kain. Kami harus mengeluarkan biaya lagi untuk menjahitkan. Sedangkan di pasar, beli seragam jadi hanya sekitar 150.000 saja.

Polemik Pengadaan Seragam

Dari tahun ke tahun permasalahan pengadaan seragam memang masih jadi PR. Namun, tahun ini dengan perkembangan demokrasi bersosial media yang tinggi, membuat akses informasi dapat diketahui dengan cepat.

Seperti halnya dengan berbagai keluhan yang dialami oleh para wali di SMA Negeri tempat Nino bersekolah. Keluhan tersebut dengan cepatnya tersebar dan mendapatkan respon dari berbagai pihak pula.

Salah satu pihak yang merespon adalah pihak sekolah terkait. Humas SMA Negeri tersebut mengatakan bahwa sekolah tidak mewajibkan siswa untuk membeli seragam. Mereka hanya memfasilitasi pembelian seragam yang perlu dimiliki oleh siswa baru. Siswa dapat membeli di luar akan tetapi warna seragam tersebut akan sedikit berbeda, gradasinya, dan itu wajar.

Respon itu amat berbeda dengan jawaban yang pernah kami terima saat meminta keringanan. Begitu pun dengan jawaban terkait cicilan. Pihak humas menyatakan bahwa kami tidak dapat mencicil. Namun, ketika diwawancarai wartawan, beliau menyatakan bahwa biaya seragam tersebut dapat dicicil bahkan selama satu tahun.

Tanggapan Pemerintah Provinsi

Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak ketika ditemui terkait kasus mahalnya seragam sekolah menyayangkan adanya peristiwa ini. Emil menegaskan bahwa persoalan seragam sekolah kini menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan Provinsi Jatim agar kasus yang sama tidak terulang kembali di PPDB berikutnya.

Pemprov mengaku telah meminta dinas pendidikan untuk membuat surat edaran ke masing-masing sekolah SMA/SMK negeri dalam menyikapi  kasus mahalnya seragam sekolah. Surat edaran sedang disiapkan oleh dinas pendidikan.

Emil Dardak juga menegaskan bahwa sekolah tidak boleh mewajibkan pembelian seragam di sekolah. Selain itu, ia mengingatkan kepada wali murid untuk tidak membayar sumbangan paksaan kepada sekolah karena hal tersebut merupakan diskriminasi.

Adanya solusi dan peran serta dari pemerinta provinsi diharapkan mampu memberikan titik terang terkait polemik pengadaan seragam sekolah. Jangan sampai pendidikan gratis, bikin kantong orang tua mahal menangis.

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar